BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ruang dilihat sebagai wadah interaksi sosial,
ekonomi, budaya antara manusia lainnya dan ekosistem serta sumberdaya buatan.
Sudut pandangan yang demikian merupakan arah dan kebijakan dari pembangunan di
bidang penataan ruang sehingga terjadi harmonisasi diantaranya guna
optimalisasi penataan dan pemanfaatan ruang.
Salah satu tujuan pengembangan wilayah adalah
pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Kesejahteraan suatu wilayah dapat
dilihat melalui tingkat pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi
wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang
terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value)
yang terjadi. (Tarigan, 2005).
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada intinya
adalah rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian
pembangunan wilayah dan sektor dalam rangka pelaksanaan program-program
pemba-ngunan yang ada di wilayah. Sebagai suatu rencana, RTRW tidak hanya
menggambarkan tata letak dan keterkaitan hirarki ruang, baik antara kegiatan
maupun antar pusat kegiatan, akan tetapi kualitas komponen-komponen yang
menjadi penyusunan ruang.
Pada dasarnya urusan tata ruang diarahkan pada
revitalisasi penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang daerah
yang optimal dan berkelanjutan.
Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang
terdiri dari beberapa Kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Banyuwangi. Dengan
luas sekitar 5.782,50 km² sebagian besar wilayah Kab. Banyuwangi masih merupakan
daerah kawasan hutan. Area kawasan hutan ini diperkirakan telah mencapai 182.814,85
ha atau sekitar 31,62 persen, daerah persawahan sekitar 66.152 ha atau 11,44
persen, perkebunan dengan luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21 persen,
dimanfaatkan sebagai daerah permukiman dengan luas sekitar 127.454,22 ha atau
22,04 persen. Sedang sisanya telah dipergunakan oleh penduduk Kabupaten
Banyuwangi dengan berbagai manfaat yang ada, seperti jalan, ladang dan lain-lainnya.
Selain penggunaan luas daerah yang demikian itu,
Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 282 km, serta jumlah
Pulau ada 15 buah. Seluruh wilayah tersebut telah memberikan manfaat besar bagi
kemajuan ekonomi penduduk Kabupaten Banyuwangi.
Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi
Kabupaten Banyuwangi terletak diantara 7o 43’ ‐ 8o
46’ Lintang Selatan dan 113o 53’ ‐ 114o
38’ Bujur Timur. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan Samudera Indonesia serta
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
Umumnya daerah bagian Selatan, Barat dan Utara
merupakan daerah pegunungan, sehingga pada daerah ini mempunyai tingkat kemiringan
tanah dengan rata‐rata
mencapai 40o serta dengan rata‐rata curah hujan lebih tinggi bila
dibanding dengan daerah yang lain.
Daerah datar terbentang luas dari bagian Selatan
hingga Utara yang tidak berbukit. Daerah ini banyak dialiri sungai‐sungai yang
bermanfaat guna mengairi hamparan sawah yang luas. Selain ketersediaan hamparan
sawah yang cukup luas dan potensial itu, kontribusi Daerah Aliran Sungai (DAS)
juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kesuburan tanah.
Berdasarkan banyaknya DAS di Kabupaten Banyuwangi terdapat 35 DAS yang
sepanjang tahun cukup untuk mengairi hamparan sawah yang ada.
Daratan yang datar tersebut sebagian besar mempunyai
tingkat kemiringan kurang dari 15o diikuti rata‐rata curah hujan
yang cukup memadai, sehingga akan bisa menambah tingkat kesuburan tanah.
Dari gambaran kondisi alam yang demikian itu
menjadikan Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten di Propinsi Jawa
Timur yang merupakan daerah lumbung padi. Selain itu menurut data statistik
juga memberikan adanya indikasi kuat sebagai kabupaten potensi pertanian yang
relatif besar setelah Kabupaten Malang dan Jember, bila dibandingkan dengan
kabupaten lain di Propinsi Jawa Timur.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
garis besar RTRW Kabupaten Banyuwangi?
2. Bagaimana
potensi pertanian di Kabupaten Banyuwangi?
3. Bagaimana
pengembangan wilayah agropolitan di Kabupaten Banyuwangi?
4. Bagaimana
revitalisasi di bidang pertanian di Kabupaten Banyuwangi?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui garis besar RTRW Kabupaten Banyuwangi.
2. Untuk
mengetahui potensi pertanian di Kabupaten Banyuwangi.
3. Untuk
mengetahui pengembangan wilayah agropolitan di Kabupaten Banyuwangi.
4. Untuk memberikan revitalisasi di bidang pertanian
di Kabupaten Banyuwangi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Garis Besar RTRW Kabupaten Banyuwangi
Ruang dilihat sebagai wadah interaksi sosial,
ekonomi, budaya antara manusia lainnya dan ekosistem serta sumberdaya buatan.
Sudut pandangan yang demikian merupakan arah dan kebijakan dari pembangunan di
bidang penataan ruang sehingga terjadi harmonisasi diantaranya guna
optimalisasi penataan dan pemanfaata ruang.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada intinya
adalah rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian
pembangunan wilayah dan sektor dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan
yang ada di wilayah. Sebagai suatu rencana, RTRW tidak hanya menggambarkan tata
letak dan keterkaitan hirarki ruang, baik antara kegiatan maupun antar pusat
kegiatan, akan tetapi kualitas komponen-komponen yang menjadi penyusunan ruang.
Pada dasarnya urusan tata ruang diarahkan pada
revitalisasi penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang daerah
yang optimal dan berkelanjutan.
Tujuan pengembangan wilayah di Kabupaten Banyuwangi:
1. Terwujudnya
harmonisasi pengelolaan kawasan lindung dan mitigasi daerah rawan bencana dalam
rangka pengembangan wilayah Kabupaten Banyuwangi;
2. Tersedianya
infrastruktur sehingga dapat mengurangi ketimpangan wilayah dan dapat memacu
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi;
3. Berkembangnya
sentra ekonomi unggulan Kabupaten Banyuwangi yang berbasiskan pada pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan dan pariwisata.
4. Berkembangnya
pendidikan yang berbasis sumberdaya daerah dalam rangka mendukung pengembangan
wilayah Kabupaten Banyuwangi.
1. Rencana Sistem Pusat-Pusat Pengembangan
Wilayah di Kabupaten Banyuwangi
a. Hierarki
tingkat kekotaan di Kabupaten Banyuwangi
1) Pusat
Kegiatan Wilayah : Kota Banyuwangi
2) Pusat
Kegiatan Lokal : Kota Genteng, Rogojampi, Muncar
3) Pusat
Kegiatan Promosi Lokal : Kota Kalipuro, Wongsorejo, Bangorejo.
4) Pusat
Pelayanan Kawasan : Kota Kalibaru, Singojuruh, Srono, Pesanggaran, Purwoharjo,
Tegaldlimo, Cluring, Glenmore, Kabat, Sempu, Songgon, Glagah, Wongsorejo, Giri,
Tegalsari, Licin, Siliragung
b. SWP
Banyuwangi
1) Kota Banyuwangi:
Sebagai pusat pertumbuhan bagi kabupaten Banyuwangi Bagian Utara yang sekaligus
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi.
2) Kota
Rogojampi: Sebagai pusat pertumbuhan bagi kabupaten Bagian Tengah Timur yang
sekaligus berfungsi sebagai pusat pengembangan bandar udara Blimbingsari dan
Fishery Town bagi Kabupaten Banyuwangi.
3) Kota
Genteng: Sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi Bagian Tengah
Barat yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pertumbuhan terbesar ke-2 di
Kabupaten Banyuwangi.
4) Kota
Bangorejo: Sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan
yang sekaligus berfungsi sebagai Agropolitan.
B. Potensi Pertanian Kabupaten Banyuwangi
Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang
paling dominan bila diperhatikan berdasarkan struktur ekonomi Kab. Banyuwangi.
Sektor pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
peternakan serta perikanan dan kelautan. Khusus dalam sektor pertanian ini, ada
dua sub sektor didalamnya yang sangat potensial. Yaitu sub sektor tanaman bahan
makanan dan sub sektor perikanan laut. Namun yang dibahas dalam makalah ini
hanya bertumpu pada sektor tanaman bahan pangan.
Peranan sub sektor tanaman bahan makanan dapat
menyumbang produksi padi Jawa Timur, yang mana Kab. Banyuwangi merupakan salah
satu daerah lumbung padi.
Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten
di Propinsi Jawa Timur yang mempunyai luas daerah terbesar, sehingga dengan
adanya ketersediaan luas daerah yang begitu besar tersebut, kesempatan untuk
dijadikan sebagai lahan pertanian akan mempunyai peluang besar. Namun perlu
dipahami pula bahwa tidak semua tanah mempunyai tingkat kesuburan yang sama.
Berdasarkan pemanfaatan lahan yang digunakan oleh
para petani, mulai dari kawasan Selatan ke arah Utara yang melebar ke arah
Barat merupakan daerah potensi tanaman bahan makanan. Utamanya tanaman padi
banyak ditanam di kawasan ini, bahkan sebagian besar dari kawasan tersebut pola
tanam padi dalam satu tahunnya bisa dilakukan hingga tiga kali.
Pada tahun 2009 produksi padi telah mengalami
kenaikan sebesar 4,11 persen dibanding tahun 2008. Kalau diperhatikan trend
dari produksi padi pada tiga tahun terakhir indikasinya menunjukkan pola yang meningkat.
Peningkatan ini perlu dijaga agar tidak terjadi penurunan. Penurunan yang mungkin
terjadi tersebut, akan menimbulkan banyak penafsiran.
Diantara penafsirannya adalah, lahan pertanian
setiap tahun diduga mengalami pengurangan lahan sebagai akibat digunakan untuk
kepentingan lain. Misalnya digunakan sebagai daerah pemukiman maupun pemanfaatan
yang lain. Risikonya produksi tanaman bahan makanan akan menurun sebanding
dengan berkurangnya lahan pertanian tersebut.
Selama tiga tahun terakhir ini, menurut catatan
Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Banyuwangi
diperoleh informasi adanya peningkatan produksi padi yang diikuti dengan meningkatnya
luas panen. Naiknya produksi jagung yang diikuti dengan turunnya luas panen.
Adapun beberapa jenis tanaman bahan makanan yang lain mempunyai produksi yang berfluktuasi.
C. Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten
Banyuwangi
1. Konsep Agropolitan
Pembangunan Perdesaan sebagai produsen hasil
pertanian masih kurang optimal dibandingkan pembangunan perkotaan sebagai pusat
kegiatan dan pertumbuhan ekonomi, telah mendorong aliran sumber daya dari
wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan secara tidak seimbang. kesenjangan
sosial dan kehidupan masyarakat desa dan kota yang semakin melebar. Disisi lain
pergeseran fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian, kepemilikan lahan pertanian
yang relatif menyempit, minimnya infrastruktur perdesaan, rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat perdesaan, kesemuanya merupakan refleksi perekonomian di
perdesaan. Untuk itu diperlukan strategi dalam membangkitkan pembangunan
ekonomi yang mampu memberikan kehidupan lebih baik bagi mayoritas penduduk di
perdesaan yang hidup di sektor pertanian melalui pengembangan kawasan
agropolitan.
Mensikapi berbagai tantangan dalam pembangunan
pertanian yang sejalan dengan upaya percepatan pembangunan perdesaan,
diperlukan komitmen yang kuat dan kerjasama yang erat antara pemerintah,
masyarakat maupun swasta. Untuk hal tersebut, Pengembangan Kawasan Agropolitan
merupakan salah satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian
luas (termasuk kegiatan agrowisata, minapolitan dan sebagainya), dengan
menempatkan ‘kota-tani’ sebagai pusat kawasan dan ketersediaan sumberdayanya,
sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan saling melayani dan mendorong
usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan (hinterland)
dan desa-desa sekitarnya. Sehingga terwujudnya sistem usaha agribisnis antara
perkotaan dan perdesaan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah.
Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan
administrasi pemerintah, tetapi lebih ditentukan oleh economic of scale dan economic
of scope. Untuk itu penetapan kawasan agropolitan dirancang secara lokal
dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada di setiap
daerah. Pada akhirnya, konsep gerakan agropolitan dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif konsep pembangunan kawasan yang mampu mendorong perekonomian daerah,
baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi; menciptakan
sinergitas pembangunan antar wilayah yang lebih berimbang; mengatasi
masalah-masalah pembangunan wilayah perdesaan; dan pengelolaan pertanian.
Penataan ruang kawasan perdesaan (dapat berbentuk
kawasan agropolitan) diantaranya diarahkan untuk memberdayakan masyarakat perdesaan
melalui beberapa upaya, antara lain adalah pengembangan lembaga perekonomian perdesaan
untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi dalam kawasan perdesaan,
termasuk kegiatan pertanian, kegiatan perikanan, dan kegiatan perkebunan.
Pengembangan Kawasan Agropolitan (PKA) pada
prinsipnya bukan merupakan kegiatan yang bersifat ‘exclusive’ tetapi lebih bersifat ‘complement’ terhadap 3 (tiga) agenda prioritas pembangunan di Jawa
Timur, tahun 2009 – 2014, yaitu:
a) Meningkatkan percepatan dan pemerataan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan, terutama melalui pengembangan
agroindustri/ agrobisnis, serta pembangunan dan perbaikan infrastruktur
terutama pertanian di perdesaan.
b) Memperluas lapangan kerja, meningkatkan
efektifitas penanggulangan kemiskinan, memberdayakan ekonomi rakyat, terutama
wong cilik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
c) Memelihara kualitas dan fungsi
lingkungan hidup serta meningkatkan perubahan pengelolaan sumber daya alam dan
penataan ruang.
Hasil evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan
agropolitan di Jawa Timur menunjukkan beberapa kendala dan permasalahan antara
lain:
a) Pemahaman para stakeholder terhadap
hakekat konsepsi pengembangan kawasan agropolitan belum tersosialisasikan
sampai tataran yang paling rendah, oleh karena perangkat organisasi dan
tata-laksana operasionalnya belum memiliki landasan legal operasional (Norma,
Standar, Pedoman dan Manual) yang memadai.
b) Koordinasi lintas institusi di tingkat
lokal, regional maupun nasional masih belum optimal.
c) Pengendalian kegiatan belum tertata
dengan baik, oleh karena belum dimilikinya pedoman tentang sistem dan prosedur
pelaksanaan PKA. Terbukti pada beberapa daerah yang sudah habis masa
stimulasinya oleh Pemerintah Pusat / Provinsi, tetapi belum dilakukan evaluasi.
Dengan demikian pengembangan kawasan agropolitan
harus komplementer dan sinergis dengan berbagai program baik yang berasal dari
pusat, provinsi dan Kabupaten/ Kota. Maka mekanisme pengembangan kawasan
agropolitan merupakan kesatuan kegiatan sosialisasi dengan aspek-aspek sebagai
berikut:
a. Ciri-Ciri
Kawasan Agropolitan
1) Sebagian
besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan
pertanian (dalam arti luas) dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang
utuh dan terintegrasi mulai dari:
a) Subsistem
usaha tani/ pertanian primer (on farm agribusiness) yang mencakup usaha:
tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
b) Subsistem
agribisnis hulu (up stream agribusiness) yang mencakup: mesin, peralatan
pertanian pupuk, dan lain-lain.
c) Subsistem
agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang meliputi: industri-industri
pengolahan dan pemasarannya termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor.
d) Subsistem
jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis) seperti:
perkreditan, asuransi, transportasi, penelitian dan pengembangan, pendidikan,
penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.
2) Adanya
keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural
linkages) yang bersifat interdependensi/timbal balik dan saling
membutuhkan, di mana kawasan pertanian di perdesaan mengembangkan usaha budi daya
(on farm) dan produk olahan skala
rumah tangga (off farm) sebaliknya
kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budi daya dan agribisnis
seperti penyediaan sarana pertanian antara lain: modal, teknologi, informasi,
peralatan pertanian, dan lain sebagainya.
3) Kegiatan
sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didomonasi oleh kegiatan
pertanian atau agribisnis termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan)
pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan
ekspor bila dimungkinkan), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan
permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
4) Kehidupan
masyarakat di kawasan agropolitan sama dengan suasana kehidupan di perkotaan,
karena prasarana dan infrastruktur yang ada di kawasan agropolitan diusahakan
tidak jauh berbeda dengan di kota.
b. Persyaratan
Kawasan Agropolitan
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu
kawasan agropolitan harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Memiliki
komoditas unggulan yang sudah berkembang dengan prioritas untuk didukung oleh
sektor hilirnya.
2) Memiliki
sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi
pertanian (yaitu komoditi unggulan tersebut).
3) Memiliki
prasarana dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem
dan usaha agribisnis khususnya pangan, seperti misalnya: jalan, sarana,
irigasi/pengairan, sumber air baku, terminal, jaringan telekomunikasi, fasilitas
perbankan, pusat informasi pengembangan agribisnis, sarana produksi pengolahan
hasil pertanian, dan fasilitas umum serta fasilitas sosial lainnya.
4) Memiliki
sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan
agropolitan secara mandiri.
5) Usaha
agribisnis yang dimiliki masyarakat tani di kawasan mampu dikembangkan lebih
baik lagi serta berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan dan
daerah sekitarnya.
6) Konservasi
alam dan kelestarian lingkungan hidup tercapai guna menjamin budi daya
kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun ekosistem yang berkelanjutan
dalam RTRK/ RDTRK yang disepakati.
2. Kawasan Agropolitan di Kabupaten Banyuwangi
Kawasan agropolitan di Banyuwangi, seperti yang
dijelaskan dalam garis besar RTRW Kabupaten adalah Kecamatan Bangorejo. Kecamatan
Bangorejo merupakan kota di wilayah selatan Bayuwangi yang terletak pada
segitiga emas pengembangan ekonomi di wilayah Banyuwangi selatan, yakni: Kecamatan
Genteng sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah selatan, Kecamatan Muncar
yang didapuk sebagai kota minapolitan, dan terakhir adalah Bangorejo sendiri
sebagai kota agropolitan.
Pengembangan potensi pertanian memang cukup
menjanjikan di wilayah Banyuwangi selatan, karena daerahnya yang rata dengan
curah hujan yang cukup memadai, selain itu banyak DAS yang ditemuka di daerah
ini sehingga daerahnya cukup subur.
Dari peta tersebut bisa dijelaskan, bahwa warna biru
muda pada peta tersebut merupakan sawah irigasi, sedangkan yang berwarna jingga
merupakan sawah tadah hujan.
Beberapa alasan mengapa agropolitan di kembangkan di
Bangorejo adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas, terletak pada segitiga
emas pengembangan ekonomi bagian selatan, letaknya yang dekat dengan akses
jalan propinsi, dan sistem irigasinya yang memadai karena terdapat sistem
irigasi peninggalan Belanda.
Berikut adalah tabel komoditas pertanian bahan
pangan di Kecamatan Bangorejo.
Tabel
Komoditas
Pertanian Bahan Pangan Kecamatan Bangorejo
(Sumber:
Banyuwangi dalam Angka 2010)
Produksi
|
Jml
produksi
|
Status
Produksi
|
Padi
|
41.758
ton/tahun
|
Unggulan
|
Jagung
|
4.399
ton/tahun
|
Unggulan
|
Kedelai
|
3.637
ton/tahun
|
Unggulan
|
Sedangkan sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan
bangorejo adalah sebagai berikut:
a. Jalan poros desa,jalan usaha tani dan
jaringan irigasi
b. Sub terminal agribisnis
c. Alat pengolah gula merah
d. Jalan poros desa dan jaringan irigasi
e. Pasar, Koperasi
f. Pabrik pengolah coklat
g. Jalan poros desa dan jaringan irigasi
h. Pasar,Granding house
i.
KUD,
KSP Mikro, USP pakan ternak
D. Revitalisasi Di Bidang Pertanian Di Kabupaten
Banyuwangi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator kesejahteraan masyarakat. Pada
tahun 2006, perekonomian Kabupaten Banyuwangi tumbuh sebesar 5,07 persen,
meningkat menjadi 6,22 persen tahun 2011 (BPS, 2011). Dilihat dari strukturnya,
perekonomian Kabupaten Banyuwangi tersebut, didominasi oleh sektor pertanian
dengan kontribusi hampir mencapai 50 persen. Untuk itu tepat kiranya, jika
pemerintah daerah meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas unggulan
pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai
prioritas pembangunan daerah, sektor ini mempunyai peran strategis melalui
kontribusi yang nyata sebagai sumber pendapatan, penyediaan bahan pangan,
penyerap tenaga kerja, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani
yang ramah lingkungan.
Dengan kontribusi pada struktur ekonomi kabupaten
yang besar, maka keberhasilan pembangunan pertanian sangat menentukan
keberhasilan pembangunan daerah secara makro. Capaian sektor pertanian menjadi
indikator utama capaian pembangunan daerah. Pada tahun 2011, komoditas utama
pertanian tanaman pangan yang terdiri dari padi, jagung dan kedelai menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Jika produksi padi pada tahun 2008 sebesar 644,8
ribu ton, meningkat menjadi 717,2 ton tahun 2009, maka pada tahun 2011, dengan
luas tanam 121,2 ribu hektar, produktifitas padi mencapai 6 ton per hektar
dengan produksi sebesar 720.432 ton.Produksi jagung pada tahun 2011mencapai
177.174 ton, dengan produktifitas 59,78 kuintal per hektar. Produksi jagung ini
dihasilkan dari target sasaran tanam sebesar 35.183 hektar yang terealisasi
31.141 ha, dengan target sasaran panen 34.975 hektar yang terealisasi sebesar
29.728 hektar. Produksi kedelai pada tahun 2011 mencapai 64.129 ton dari
sasaran tanam 36.049 dengan produktifitas 17,78 kuintal per hektar. Atas
keberhasilan peningkatan produksi padi tahun 2008-2009 sebesar 11 persen serta peningkatan produksi padi
tahun 2009-2010 sebesar 9,98 persen, maka disampaikan Penghargaan Pemerintah
kepada Bupati Banyuwangi sebagai Kabupaten yang berhasil meningkatkan produksi
padi diatas 5 persen.
Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi ketersediaan
lahan yang cukup besar, yaitu sebesar 63.049 hektar (BPS, SP Lahan 2010). Namun
demikian, sebagian lahan potensi tersebut merupakan lahan sub optimal seperti
lahan kering yang produktivitasnya relatif rendah, karena kendala kekurangan
air, tingginya kemasaman/salinitas, serta tanah yang kurang subur. Beberapa
lokasi lahan di wilayah Kecamatan Wongsorejo dan Kalipuro termasuk dalam kategori ini.
Di samping itu, berbagai tantangan besar juga masih
harus dihadapi oleh Kabupaten Banyuwangi saat ini dan tahun-tahun mendatang.
Perubahan dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis serta persoalan
mendasar sektor pertanian seperti kecilnya status dan luas kepemilikan lahan;
terbatasnya sistem pengendalian hama, pengendalian pola tanam padi-padi
polowijo, terbatasnya akses petani terhadap permodalan,serta masih lemahnya
kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, sangat mempengaruhi kinerja
pembangunan pertanian.Perubahan iklim global yang terjadi saat ini telah
menyebabkan anomali iklim. Frekuensi dan keteraturan hujan yang kurang
menyebabkan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Sinar matahari
kurang menyebabkan fotosintesa kurang dan pada gilirannya menyebabkan produksi
menurun dan di sisi lain menyebabkan peningkatan OPT.
Penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara
berimbang yang diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah,
saat ini masih belum optimal, sehingga produktivitas komoditas pertanian masih
dihadapkan pada menurunnya kesuburan fisik tanah pertanian, terutama di lahan
sawah. Struktur tanah semakin masif akibat penerapan pupuk kimia dalam jangka
waktu yang lama menjadi penyebab paling besar. Di samping itu, menurunnya
kesuburan juga diakibatkan oleh kecenderungan petani yang masih menggunakan salah
satu pupuk tunggal secara berlebihan, terutama pupuk nitrogen (N) sementara
penggunaan jenis pupuk lainnya (P, K dan unsur mikro) masih sangat kurang.
Untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan lahan sekaligus mengurangi
konsumsi pupuk N, maka upaya menggerakkan proporsi penggunaan pupuk kimia
dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik untuk memperbaiki kesuburan fisik
tanah akan terus diupayakan.
Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar PDRB
Kabupaten Banyuwangi. Dalam satu dekade belakangan, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDBR Kabupaten Banyuwangi berkisar 50 persen. Dibandingkan dengan
Indonesia pada umumnya, sumbangan ini jauh lebih besar, karena untuk Indonesia sumbangan
sektor pertanian dalam kurun waktu yang sama kurang dari 20 persen. Selain itu,
sektor pertanian merupakan penyerap angkatan kerja terbesar. Ketika sektor-sektor
lain belum mampu menyerap banyak tenaga kerja, sektor pertanian bisa berfungsi
sebagai katup pengaman untuk mengatasi pengangguran.
1. Permasalahan
a. Proses
Budidaya Pertanian
1) Terdapat
kecenderungan menurunnya sumbangan sektor pertanian (termasuk perkebunan,
peternakan dan perikanan) kepada PDRB;
2) Para petani
mengalami kesulitan di dalam mengakses permodalan, teknologi dan pasar;
3) Cenderung
meningkatnya gangguan iklim dan hama penyakit;
4) Para petani
mengalami kesulitan di dalam memperoleh bibit unggul, pupuk dan obatan-obatan;
5) Masih
lemahnya manajemen pengairan dalam pertanian;
6) Lemahnya
pengelolaan sumber daya pesisir.
b. Pasca Panen
1) Belum
terintegrasinya produksi pertanian dengan produk-produk lain, seperti produk
olahan dan jasa;
2) Harga
produksi gabah mengalami penurunan pada masa panen;
3) Minimnya
peralatan pasca panen; pengering gabah, pengolah hasil
4) Lemahnya
jaringan produksi pasca panen seperti; tidak memiliki penyimpanan hasil
produksi, hasil produksi langsung dijual kepada tengkulak;
5) Rendahnya
nilai tukar petani (NTP);
c. Infrastruktur
1) Belum
memadai ketersediaan sarana pertanian, seperti DAM dan saluran irigasi;
2) Belum
memadainya jalan, sarana dan prasarana transportasi;
3) Belum
tersedia (atau memadai) pasar hasil-hasil pertanian.
d. Sumber Daya
Manusia
1) Terjadinya
penurunan minat kaum anak-anak muda untuk menjadi petani. Pada 2007 jumlah
penduduk yang menekuni sektor pertanian mencapai 26,45 persen. Angka ini mengalami
penurunan menjadi 25,45 persen pada 2008 (BAPPEDA Banyuwangi: Kabupaten
Banyuwangi dalam Angka 2010);
2) Rendahnya
ketrampilan petani dalam mengadopsi dan melaksanakan teknologi baru pertanian;
3) Pengetahuan
tentang pertanian masih bersifat tradisional dan turun temurun.
e. Kelembagaan
1) Kurangnya
tenaga penyuluh pertanian, baik dalam kuantitas maupun kualitas;
2) Lemahnya
peran serta kelompok tani serta gabungan kelompok tani;
3) Rendahnya
peran organisasi petani;
4) Rendahnya
peran lembaga perekonomian perdesaan;
5) Rendahnya
peran litbang dalam pembangunan pertanian
6) Belum
padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian
7) Rendahnya
luas kepemilikan lahan petani;
8) Kurang
optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.
2. Sasaran
a. Meningkatnya produktivitas dan nilai
tambah hasil pertanian;
b. Meningkatnya akses petani terhadap
permodalan, teknologi dan pasar;
c. Meningkatnya daya adaptasi petani terhadap
iklim dan pengendalian hama penyakit tanaman;
d. Meningkatnya ketersediaan bibit unggul
dan sarana produksi pertanian;
e. Optimalisasi pengunaan sumber daya air;
f. Meningkatnya nilai tukar petani;
g. Meningkatnya nilai tambah produk-produk
pertanian;
h. Meningkatnya pengunaan peralatan
pertanian;
i.
Meningkatnya
minat kaum muda pada sektor pertanian;
j.
Meningkatnya
kualitas SDM pertanian;
k. Meningkatnya jumlah dan kualitas
penyuluh pertanian;
l.
Meningkatnya
peran litbang pertanian;
m. Meningkatnya infrastruktur penunjang
pertanian;
n. Meningkatnya peran organisasi petani dan
kelompok tani;
o. Meningkatnya komitmen birokrat terhadap
sektor pertanian;
p. Meningkatnya intergrasi vertikal maupun
horisontal sektor pertanian.
3. Solusi
a. Proses Budidaya Pertanian
1) Memanfaatkan lahan pertanian dan laut seoptimal
mungkin;
2) Pengembangan produk-produk unggulan sektor
pertanian di masingmasing desa (one
village one product);
3) Mengembangkan pupuk dan obatan-obatan
organik;
4) Mengembangkan teknologi on-farm;
5) Mempermudah akses permodalan bagi
petani;
6) Mengembangkan pola pergiliran tanaman;
7) Pemberdayaan petani.
b. Pasca Panen
1) Mengembangkan teknologi off-farm;
2) Mengembangkan agroindustri;
3) Mengembangkan usaha agribisnis pedesaan;
4) Meningkatkan ketahanan ekonomi rumah
tangga petani.
c. Infrastruktur
1) Memperbaiki dan mengembangkan DAM dan
saluran irigasi;
2) Memperbaiki dan mengembangkan jalan
poros desa
3) Membangun akses pasar
d. Sumber Daya Manusia
1) Membangun image pertanian di kalangan
anak muda;
2) Mengalakan penyuluhan pertanian;
3) Meningkatkan pengetahuan dan
profesionalisme petani.
e. Kelembagaan
1) Membangun sistem agribisnis;
2) Membangun visi bersama antara birokrasi,
organisasi pertanian, kelompok tani;
3) Penataan organisasi penyuluh pertanian;
4) Rekuitmen dan pelatihan tenaga penyuluh;
5) Menumbuhkan kepekaan dan kreatifitas
penelitian dan pengembangan pertanian.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengembangan wilayah di Kabupaten Banyuwangi di bagi
menjadi beberapa pusat-pusat pengembangan, yaitu:
1) Kota Banyuwangi:
Sebagai pusat pertumbuhan bagi kabupaten Banyuwangi Bagian Utara yang sekaligus
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi.
2) Kota
Rogojampi: Sebagai pusat pertumbuhan bagi kabupaten Bagian Tengah Timur yang
sekaligus berfungsi sebagai pusat pengembangan bandar udara Blimbingsari dan
Fishery Town bagi Kabupaten Banyuwangi.
3) Kota
Genteng: Sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi Bagian Tengah
Barat yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pertumbuhan terbesar ke-2 di
Kabupaten Banyuwangi.
4) Kota
Bangorejo: Sebagai pusat pertumbuhan bagi Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan
yang sekaligus berfungsi sebagai Agropolitan.
Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar PDRB
Kabupaten Banyuwangi. Dalam satu dekade belakangan, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDBR Kabupaten Banyuwangi berkisar 50 persen. Oleh karena itu, arah
pengembangan wilayah ini dititikberatkan dalam bidang pertanian.
Kawasan agropolitan di Banyuwangi, seperti yang
dijelaskan dalam garis besar RTRW Kabupaten adalah Kecamatan Bangorejo.
Kecamatan Bangorejo merupakan kota di wilayah selatan Bayuwangi yang terletak
pada segitiga emas pengembangan ekonomi di wilayah Banyuwangi selatan, yakni:
Kecamatan Genteng sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah selatan, Kecamatan
Muncar yang didapuk sebagai kota minapolitan, dan terakhir adalah Bangorejo
sendiri sebagai kota agropolitan.
Masalah-masalah yang dijelaskan di atas bisa di
atasi jika menggunakan penyelesaian sebagai berikut:
a. Proses Budidaya Pertanian
1) Memanfaatkan lahan pertanian dan laut
seoptimal mungkin;
2) Pengembangan produk-produk unggulan
sektor pertanian di masingmasing desa (one
village one product);
3) Mengembangkan pupuk dan obatan-obatan
organik;
4) Mengembangkan teknologi on-farm;
5) Mempermudah akses permodalan bagi
petani;
6) Mengembangkan pola pergiliran tanaman;
7) Pemberdayaan petani.
f. Pasca Panen
1) Mengembangkan teknologi off-farm;
2) Mengembangkan agroindustri;
3) Mengembangkan usaha agribisnis pedesaan;
4) Meningkatkan ketahanan ekonomi rumah
tangga petani.
g. Infrastruktur
1) Memperbaiki dan mengembangkan DAM dan
saluran irigasi;
2) Memperbaiki dan mengembangkan jalan
poros desa
3) Membangun akses pasar
h. Sumber Daya Manusia
1) Membangun image pertanian di kalangan
anak muda;
2) Mengalakan penyuluhan pertanian;
3) Meningkatkan pengetahuan dan
profesionalisme petani.
i. Kelembagaan
1) Membangun sistem agribisnis;
2) Membangun visi bersama antara birokrasi,
organisasi pertanian, kelompok tani;
3) Penataan organisasi penyuluh pertanian;
4) Rekuitmen dan pelatihan tenaga penyuluh;
5) Menumbuhkan kepekaan dan kreatifitas
penelitian dan pengembangan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPEDA Kabupaten
Banyuwangi. 2010. Kabupaten Banyuwangi
dalam Angka 2010. Banyuwangi: BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi
BAPPEDA Kabupaten
Banyuwangi. 2012. RTRW Kabupaten
Bayuwangi. Artikel. (online). (http://bappeda.banyuwangikab.go.id/rtrw.html, diakses 16 Maret
2012)
BAPPEDA Kabupaten
Banyuwangi. 2012. Pengembangan Argopolitan. Artikel. (online). (http://bappeda.banyuwangikab.go.id/perencanaan-pembangunan/agropolitan.html, diakses 16 Maret
2012)
BAPPEDA
Kabupaten Banyuwangi. 2011. Draft Awal
RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2011-2015. Banyuwangi: BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi
BAPPERPROV
Jawa Timur. 2011. Pedoman Umum
Pengembangan kawasan Agropolitan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011. Surabaya:
BAPPERPROV Jawa Timur
BAPPERPROV
Jawa Timur. 2011. Sistem Informasi
Agropolitan. Artikel. (online). (http://agropolitan-jatim.net/kawasan.detail.php?generateID=aWRUYWh1bj0yMDEwJnByb2ZpbD1CYW55dXdhbmdp,
diakses 16 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar